K.H.Hasyim Asy'ari

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang tokoh sentral dalam komunitas pesantren, KH.Hasyim Asy’ari tidak hanya ahli dalam hal ide pemikiran dalam berdakwah dan kontribusinya dalam kebangkitan umat Islam di Indonesia tetapi, beliau juga adalah sosok negarawan yang buah pemikirannya (Resolusi Jihad ) yang mendorong rakyat Indonesia untuk bersikap non-cooperative terhadap kaum kolonial Belanda ataupun Jepang dan Pasukan Sekutu yang mengrong-rong  kedaulatan Republik Indonesia. Topik lain yang menjadi  perdebatan seru oleh kaum modernis dengan para santri muslim adalah kontroversi antara taqlid dan ijtihad, tawassul, qunut, dan pembacaan niat atau ushalli untuk memulai shalat lima waktu.pada dasarnya masalah ini merupkan bagian dari fiqih dan permasalahan furu’iyah.
 Pengaruh Pemikiran Moh.Abduh tentang taqlid dan khilafiyah, dan ide-ide Wahabiyah (Muhammad bin Abd.al-Wahab1703-1787) yang juga anti tarekat sehingga menguasai  pikiran kaum modernis muslim di jawa, sehingga menimbulkan perdebatan tentang hal itu bahkan sampai di tingkat pemimpin-pemimpin muslim dari kedua kubu.
Kondisi ini menjadikan KH. Hasyim Asy’ari menggap perlu sekali mempertahankan prinsip-prinsip Sunnismenya dan berusaha untuk mengambil jalan tengah tanpa kehilangan prinsip-prinsipnya. Dengan mempertimbangkan konsekuensi terburuk dari perdebatan yang tak terkendalikan, yang hanya menghasilkan  kekalahan bagi kaum muslim dan sebaliknya semakin memperkokoh kaum penjajah, banyak kalangan yang belum mengetahui ataupun menyembunyikannya peranan beliau sebagai seorang ahli strategi dan sebagai pemimpin “jalan tengah” menjebatani  kedua kubu tersebut dengan mengemukakan prinsip-pirnsipnya sebagai berikut : Saya mendengar bahwa terjadi permusuhan dan fitnah diantara kamu. Saya renungkan secara mendalam apa yang menyebabkan semua itu.tampaknya, penyebab semua itu adalah suatu amalan tertentu yang ditujukan oleh mereka yang menginginkan untuk mengubah esensi ajaran dan sunnah Nabi.
Allah berfirman :” jika muncul permusuhan antara sesama mukmin, maka damaikanlah mereka.
Nabi bersabda, jangan biarkan rasa iri, perselisihan dan perpecahan menguasai dirimu. Jadilah saudara sesama makhluk Allah. Mereka ( senantiasa ) cenderung bermusuhan, iri,  dan bersaing yang selanjutnya menghasilkan permusuhan.
Wahai, ulama yang secara teguh mengikuti mazhab-mazhab tertentu atau khususnya pendapat-pendapat, tinggalkanlah fanatisme kamu sekalian diwilayah furu’ masalah subdivisional, yang telah mengakibatkan ulama pada masa lalu pecah menjadi dua kubu. Sebagian ulama menganggap bahwa setiap mujtahid yang memiliki kemampuan ijtihad tentang masalah furu’iyah adalah selalu benar, sementara yang lainnya yakin bahwa hanya mujtahid  yang berlaku benarlah yang layak memperoleh pahala.Namun  bagaimana pun, mereka yang masih belum atau sesuai, tetap akan memperoleh pahala meskipun sedikit.  Sekali lagi, tinggalkanlah fanatisme semacam itu jauhilah hasrat yang penuh dosa tersebut. Karenanya berjuanglah demi Islam dan lawanlah mereka yang mengotori ajaran-ajaran al-Qur’an dan sifat-sifat Tuhan, lawanlah mereka yang mencari ilmu pengetahuan yang tidak


memiliki landasan serta merusak iman. Jihad untuk membawa mereka kembali kejalan yang benar dalam hal ini merupakan kewajiban. Mengapa kamu sekalian tidak menyibukkan diri untuk memenuhi tugas tersebut?
Wahai, kamu sekalian, orang-orang yang tidak beriman tengah merajalela di seluruh negeri ini. Maka siapa diantara kamu yang akan tampil melawan mereka dan membimbing mereka ke jalan yang baik.
Wahai ulama, kasus yang baru saja saya sebutkan itu adalah apa yang harus benar-benar harus kamu perjuangkan dengan penuh fanatisme. Pikiran sempit dalam masalah furu’ ad-din dan segala upayamu untuk membawa masyarakat pada satu mazhab, atau satu pendapat tertentu tidak akan pernah diterima Allah dan Rasul-Nya.
Usaha-usaha tersebut semata-mata didorong oleh persaingan, ingin menguasai, dan kebencian. Jika Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hajar dan Ramli, masih hidup, sungguh, mereka akan menolak secara tegas dan menyesal serta membebaskan diri sendiri dari apa yang telah kamu perbuat tentang segala sesuatu yang oleh para ulama pada masa lalu  memang telah terjadi ketidak sepakatan. Integrasi pada kehidupan sosioreligius yang aman biasanya dipahami sebagai satu prinsip penting dalam tradisi Sunni. Dengan  kata lain, menghindari chaos secara internal akan dapat mempersatukan umat dari berbagai  kubu tertentu, dan pada gilirannya akan semakin memperkuat hegemoni kaum kolonial.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah sosok  KH.Hasyim Asy’ari ?
2.      Apa peranan beliau sebagai Tokoh Sentral Pesantren ?
3.      Apa sajakah Fatwa beliau  yang menginspirasi kaum Santri untuk bersikap non-cooperative melawan kaum kolonialisme ?
4.      Bagaimana kontribusinya tentang ide-ide pemikiran beliau bagi kedaulatan NKRI ?
5.      Apakah pengertian Taqlid dan Tawassul ?
6.      Apakah pemikirannya masih relevan hingga sekarang ?

C.     Tujuan
a.       Untuk mengetahui Biografi sosok KH. Hasyim Asy’ari
b.      Untuk mengetahui pemikiran kaum modernis dan tradisionalis
c.       Untuk mengetahui fatwa atau ijtihad beliau dalam bersikap melawan kaum kolonialisme
d.      Untuk mengetahui jasa-jasa beliau dibidang keagamaan, pendidikan dan politik
e.       Untuk mengetahui masih relevankah hasil pemikirannya


BAB II
PEMBAHASAN



1.      KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Lahir pada bulan februari 1287 H / 1871 M di Gedang Jombang, Jawa Timur. Ayahnya , berasal dari Demak, Jawa Tengah, memiliki sebuah pesantren besar. Ayahnya keturunan kedelapan dari penguasa Kerajaan Islam Demak, Jaka Tingkir, Sultan Pajang pada tahun 1568, merupakan Putra Brawijaya VI, penguasa Kerajaan Majapahit abad VXI.[2] kakeknya ,kiyai Usman, pendiri sekaligus pengasuh pesantren Gedand  di Jawa Timur, dan seorang pemimpin Tarekat pada akhir abad XIX.
Beliau dilahirkan di pesantren Gedang setelah ibunya, Halimah, mengandung selama 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat jawa, kehamilan yang sangat panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Selanjutnya, kedua orangtuanya menyaksikan baka kepemimpinan yang dimilikinya, ketika ia bermain dengan anak-anak di lingkungannya, ia selalu menjadi “penengah”. Kapanpun dia melihat temannya melanggar aturan permainan, ia selalu menegurnya.dia selalu membuat banyak temannya senang bermain dengannya, sifatnya yang suka menolong dan melindungi.[3]
Beliau mengenyam pendidikan pesantren sejak usia dini. Sebelum berumur 6 tahun, kakeknyalah yang merawatnya. pada tahun1876, ia harus meninggalkan kakeknya (kiyai usman) ikut kedua orangtuanya ke  Keras ,desa di selatan Jombang. Pada usia 15 tahun ayahnya memberinya dasar-dasar Islam, khususnya membaca dan menghafal Al-Qur’an, ia seorang santri yang cerdas, dia selalu menguasai apapun yang diajarkan ayahnya, dan selalu melakukan Muthala’ah  dengan membaca sendiri kitab-kitab  yang belum pernah diajarkan oleh gurunya. Karena itulah, dia mampu mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama pada tingkat dasar terhadap para  santri  lain, ketika berusia 12 tahun, pada tahun 1883.[4]
 Dalam usianya 15 tahun, dia mengunjungi tidak kurang dari 5 pesantren di Jawa Timur. Situasi seperti ini membawanya pada ketidakpuasan intelektualnya hingga bertemu dengan guru pentingnya, KH.Kholil Bangkalan (Wafat 1925). Upaya ini didasarkan untuk memperoleh disiplin ilmu yang berbeda dipesantren-pesantren lain yang memiliki  spesialisasi ilmunya tersendiri. Pesantren Trema di Pacitan, dikenal sebagai ilm al-alah (struktur  dan tata bahasa serta literatur  Arab dan Logika).pesantren Jampas  di Kediri dikenal pesantren Tasawuf.[5]
Pada tahun 1891 beliau tiba di pesantren Siwalan Pandji  Sidoharjo, diasuh  oleh kiyai Yaqub Siwalan. Terkesan dengan kecerdasan santri baru ini, sang kiyai  menawarkan anaknya ,Khadijah, kepada beliau, kemudian dinikahi pada tahun 1892.
Pernikahan keluarga kiyai serta fokus keislaman dari ikatan ini telah membentuk bagian budaya pesantren.[6] Ikatan pernikahan  bisa berarti menjaga  kalangan elite religius jawa. Pada tahun yang sama, 1892, impiannya untuk pergi ke Mekkah, untuk menunaikan


ibadah haji maupun belajar, terlaksana. Disana dia memperoleh pengalaman yang pahit, sang istri yang menyertainya dan anak yang masih kecil, yang lahir di Mekkah, meninggal dunia. Dia percaya jika dia tabah menghadapi musibah ini Tuhan akan memberinya kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an.[7]
Isterinya memberi inspirasi untuk terus mengejar cita-citanya menjadi seorang ‘alim dan memimpin kaum muslim Indonesia, dia memutuskan pulang ke Tanah air menengok keluarganya di jawa.pada tahun 1893, dia kembali  ke Mekkah bersama adiknya, Anis dan menetap di sana selama 6 tahun. Di kota suci .ia menjadi murid dari :
1.      Sykekh Mahfuz at-Tirmizi. Dia dikenal luas oleh para santrinya sebagai seorang ahli dalam hal kitab Shahih Bukhari berikut seluruh sanadnya. Dari gurunya  ini, beliau memperoleh sebuah ijazah untuk mengejar kitab  tersebut.
2.      Syekh Nawawi al-Bantani
3.      Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w.1334H)
4.      Syekh Muhammad Shu’aib al-Maghribi

Di Mekkah , beliau  belajar fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ‘ilm alah. Dari semuanya itu tampaknya dia lebih tertarik pada ilmu Hadits.. hal ini beralasan, sebagian besar santri telah mempelajari fiqih dengan baik  di Jawa, mereka perlu mempelajari ilmu Hadits disamping Al-Qur’an beserta tafsirnya, sehingga mereka dapat menyempurnakan pemahaman tentang fiqih.
Latar belakang pendidikan pesantren yang cukup kuat menjadikannya mudah berpartisipasi dalam aktivitas intelektual di Hijaz, dia telah mengajar pada tahun1896, karier sesungguhnya di mulai saat dikembali ke Jawa Timur pada tahun 1899.
Satu hal dari kehidupan beliau di Mekkah bahwa dia lebih terkesan kepada Syekh Mahfuz at-Tirmizi dibanding gurunya yang lain.
Beliau juga memperkenalkan kepada murid-muridnya Hadits koleksi Bukhari dan Muslim, serta kitab Muhibah dzi al-fadhl ala syarhMuqaddimah bi Afdhal yang ditulis oleh Mahfuz dalam bidang fiqih sebanyak 4 jilid.

2.      Sebagai Pemimpin Pesantren Berpengaruh dan Pendidik
Sepulang dari Mekkah tahun 1899,untuk memelihara latar belakang komunitas pesantrennya, perhatian utamanya dalam hal ditujukan kepada peningkatan kualitas lembaganya..patut dicatat bahwa di sekitar Pesantren Gedang telah terdapat lebih dari 15 pesantren, seperti ;Tambakberas, Sambong, Sukopuro, Paculgoang, Watugaluh, dan sebagainya.[8]
      Beliau memutuskan untuk membangun sebuah cabang pesantren baru di daerah yang agak jauh, yaitu di Tebuireng pada tahun 1899 dengan pendaftar pertama sebanyak 28 santri.[9]
Para kiyai lain yang semasa dengannya menertawakan kekonyolan keputusannya untuk mendirikan sekoalah di Tebuireng, dikarenakan Tebuireng adalah sebuah desa terpencil yang jauh dari kota Jombang. Kritik mereka semakin tajam ketika mengetahui wilayah tersebut tidak aman, disana banyak penduduk yang tidak agamis, perampok, pemabuk, penjudi, serta porstitusi.keputusannya mendirikan pesantren di daerah itu mempunyai tujuan, untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh sejauh ini, dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent social of change. Berdasarkan tujuannya ini dia layak dijuluki sebagai seorang “ahli strategi “ dalam arti dia berkeinginan untuk mengubah struktur masyarakat.Hal ini merupakan bukti bahwa dalam argumentasinya menghadapi kritik, dia menggunakan contoh kehidupan Nabi dan upaya-upaya yang dilakukan Walisongo dalam mengislamkan masyarakat Jawa sebagai model  yang bijak untuk meyakinkan para kiyai  lain tentang perihal rencananya.
Patut dicatat bahwa disana terdapat sebuah pabrik gula , yaitu pabrik gula cukkir, kurang lebih 5 mil dari pesantren Tebuireng, pabrik ini didirikan oleh pemerintah kolonial. Pabrik  ini menjadi simbol  modernisasi bagi pemerintah kolonial.dalam konteks ini, berdirinya pesantren Tebuireng vis-à-vis pabrik milik orang asing bisa dilihat bahwa berdirinya pesantren tersebut merupakan perlawanan terhadap hegemoni Belanda.dalam kenyataannya, master plan ini, diikuti dengan serangkaian aksi-aksi nonkooperatif, otonomi, dan penolakan terhadap kaum kolonial baik oleh dirinya sendiri maupun para santrinya.
Hubungan antara pesantren pad masa awal perkembangannya dengan pemerintah kolonial sangat tidak bersahabat. Fakta yang menunjukkan bahwa pesantren tersebut didirikan pada tahun 1889 dan tidak mendapat pengakuan Belanda hingga tahun 1906, menyiratkan betapa sulitnya situasi yang tengah berlangsung pada saat itu.hal ini berarti bahwa ruang gerak guru-guru pesantren dibatasi bagi mereka yang memperoleh pendidikan keislaman di dalam negeri saja. Dalam kenyataannya, kecurigaan pemerintah kolonial , juga terulang pada periogde singkat koloni Inggris pada seperempat abad XIX di jawa. Raffles menganggap para pemimpin muslim, khususnya para haji, sebagai musuh terbesar bagi setiap pemerintah kolonial.
Master plan  pesantren tebuireng yang dirancang oleh beliau tidaklah sia-sia.dilaporkan bahwa ketika beliau  wafat pada tahun 1974 dia telah berhasil mendidik tidak kurang dari sepuluh ribu santri yang berasal dari seluruh indonesia.
Pada tahun 1910-1920  terdapat perkembangan baru di pesantren Tebuireng dan sekitarnya. Pesantren Denayar di Jombang membuka Pesantren khusus bagi perempuan pada tahun 1910. Pada tahun 1920 pesantren Tebuireng dan pesantren Singosari di Malang, Jawa Timur , memperkenalkan Pelajaran  seperti bahasa Indonesia  dan bahasa Belanda, Sejarah, Matematika, dan Geografi.[10]
3.      Sebagai Hadrat asy-Syekh “Bapak Spiritual NU”
Keberadaan tradisi sufi ditunjukkan dengan berdirinya Sunni di Jawa hingga muncul gerakan Wahabi. Abad XIX di jawa merupakan sebuah periode transisi dan dialog kritis antara kaum tradisional yang diwakili oleh kelompok sufi dan santri muslim pada umumnya,dan kaum modernis yang disimbolkan dan dipengaruhi oleh ide-ide wahabi serta Muhammad Abduh. Slogan kaun modernis adalah “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.”kaum Modernis mengklaim bahwa kaum Muslim telah tertinggal jauh, karena dengan mis interpretasi (salah penafsiran) tentang islam  yang muncul dalam bentuk “orientasi sufi” dan Islam sinkretik. Misi utama mereka dalam konteks ini adalah memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh tradisi lokal.
Tampaknya para pelajar  yang kembali dari Timur tengah terpecah ke dalam dua jenis ulama: mereka yang menentang ide-ide kelompok reformis muslim dan mereka yang menganjurkan ide-ide tersebut.pembagian ini semakin terlihat jelas ketika pada masa selanjutnya para ulama ini berinisiatif mendirikan organisasi-organisasi muslim.muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mewakili kelompok kedua, sementara NU yang didirikan pada dekade berikutnya.dan diilhami oleh K.H. Hasyim asy’ari murid setia Imam Nawawi al-Bantani,mewakili kelompok pertama.Imam Nawawi cenderung untuk menjaga ide-ide klasik Sunni, sementara Seykh Ahmad Khatib Minangkabau (guru K.H. Ahmad Dahlan) lebih terbuka kepada ide-ide baru yang dibawa oleh kelompok reformis muslim.
K.H. Hasyim asy’ari adalah kiyai khas di Jawa yang berupaya melakukan sintesis tradisi lokal dengan elemen-elemen Islam, namun dia memandang bahwa prinsip-prinsip Islam tidaklah bertentangan dengan praktik-praktik lokal sepanjang perpaduannya memiliki landasan dan tujuan religius.melalui cara pembangunan  seperti inilah Islam diperkenalkan oleh beliau dan para pengikutnya sehingga mudah diserap oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Seorang Penulis modern, M.Wahib , yang menjadi Inspirator intelektual Islam Modern pada tahun 1970, menyatakan bahwa Islam tradisional ini merupakan sebuah kultural yang diperkaya oleh  kekhususannya dalam menjaga warisan lokal.
Sedangkan Islam modern di indonesia kurang fleksibel dalam berdialog dengan elemen-elemen lokal.hal ini Islam modern miskin, karena kecenderungannya yang kurang menghargai warisan kultural tersebut.[11]
Pernyataan yang muncul  kemudian, mengapa Islam Tradisional, termasuk sufi di Indonesia, sedemikian dominan sehingga tidak memberikan akses bagi penyebaran Islam Modern di daerah. Dhofier menyatakan bahwa bahwa sukses  besar yang diraih  Islam Tradisional  dalam mengkosolidasi kekuatannya di Jawa tidak hanya disebabkan oleh fakta bahwa jumlah pengikutnya lebih besar dari pada Pengikut Islam Modern, namun juga disebabkan oleh Solidaritas yang berakar kuat serta integritas, demikian pula kerja anggotanya.[12]
Kemunculan NU sebagai sebuah organisasi religius dan sosial harus dilihat sebagai proses panjang yang dipicu oleh ulama Jawa, dan tidak bisa dipisahkan dari dimensi pemikiran dan perjuangan para ulama dan santri. Kelahiran NU  didasarkan atas resistensi ideologis, yakni kepedulian yang mendalam dari komunitas pesantren terhadap  tantangan sosioreligius dan ide-ide politik pada level mikro maupun makro.
Sekalipun ulama telah bersatu dalam satu tata cara dengan konsistennya terhadap mazhab Sunni, namun apa pun yang mereka capai sebelum tahun 1926 terlihat menjadi informal, tanpa tujuan, dan tak terorganisir. Inilah mengapa, mereka membutuhkan sebuah dialog dan selanjutnya mengadakan pertemuan penting di Ketopatan, Surabaya , Jawa Timur, pada tanggal 31 Januari 1926.[13] Pertemuan ini dirancang dalam upaya mengatasi problem-problen dan untuk memikirkan problem-problem potensial yang tengah dihadapi baik secara  politik  maupun keagamaan. Pada level mikro , ulama pesantren sudah lama tidak menyukai dominasi kaum modernis muslim dalam upaya mencapai kekuasaan pada beberapa kongres, yakni Mu’tamar ‘Alan Islami Hind asy-Sharqiyah yang diselenggarakan oleh Orgnisasi-organisasi muslim indonesia pada tahun 1920-an.
Latar belakang deologis  kelahiran NU tetap menjadi  titik tekan, yakni untuk mempertahankan serta melindungi Sunnisme melawan setiap serangan.untuk melawan kebijakan pendidikan pemerintah kolonial diwujudkan dalam penyebaran semangat nasionalisme  dikalangan anggotanya. Semangat  hubb al-Wathan[14] sebuah semangat membela negara dalam pengertian yang tepat  yakni hasrat untuk merdeka, telah tertanam  kuat dikalangan anggota NU pada awal perkembangannya.  Semangat Nasionalisme ini juga dimanifestasikan dalam nama-nama baru madrasah, untuk semakin memperkokoh rasa “cinta tanah air” seperti Nahdlat al-Wathan, Akh al-Wathan, dan Ahl al-Wathan.
NU adalah manifestasi dari komunitas pesantren yang terorganisir , karena organisasi ini bermaksud mengakomodir setiap kepentingan juga orientasi sosioreligius maupun politik komunitas pesantren. Kelahiran NU di  Pesantren Tebuireng  dengan secara aklamasi memilih K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is am  pertama NU sejak tahun 1926 hingga wafat 1947, merupakan indikasi lain hubungan mutual ini.

4.      Sebagai  Penganjur Aswuja

Dalam  komunitas  pesantren, Sunnisme arau Ahl usunnah Wal jama’a lebih  popular dengan nama  Aswaja dalam komunitas pesantren.konsep  Aswaja  ini bisa dilihat dalam anggaran dasar pertama NU dan peraturan-peraturan yang disusun pada tahun 1930-an.dalam bidang hukum Islam, NU memuruskan untuk memilih satu dari empat mazhab, dengan Imam Syafi’I yang paling favorit, sementara di bidang teologi NU merekomendasikan kepada anggotanya untuk mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari ataupun Abu Mansur al-Maturidi.[15] Di bidang sufisme, ajaran Al-Gazali (wafat 1111) dan Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi (wafat.2297/911) menjadi kiblat dari organisasi ini.[16]
Jenis  Aswaja  ini dipahami oleh NU dengan menekan arti penting tasamuh (toleransi).prinsip-prinsip  lain daru Aswaja adalah tawassuth atau  ‘adl (berdiri di tengah-tengah dan akstremitas), tawazun (menyeimbangkan antara konsep habl minan-naas dan min Allah ), dn amar makruf nahi mungkar.[17] Aswaja  yang  diterapkan secara persuasive  oleh K.H. Hasyim asy’ari  merupakan model Islam Kultural. Beliau   berhasil mengubah tradisi Hindu- Buddha dan menyubordinasikannya di bawah bendera Aswaja. Acara –acara social seperti Slametan,[18] Tahlilan,[19] Al-Barzanji, atau pembacaan riwayat hidup Nabi, sangart dianjurkan dalam tradisi pesantren.meskipun  beliau menganut sebagian ide  Moh.Abduh  sebagai upaya revitalisasi komunitas muslim yang tengah dijajah, namun tetap mempertahankan praktik-praktik religius tertentu seperti tarekat yang masih  tetap relevan bagi kaum muslim.
Kontribusi  lain dari K.H. Hasyim asy’ari , baik bagi pemikiran  keagamaan NU maupun bagi Kedaulatan Republik Indonesia adalah fatwanya yang dikenal luas sebagai  “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan pada bulan Oktober 1945:
1.      Kemerdekaan  Indonesia yang telah diproklamirkan  pada  tanggal 17 Agustus 1945, harus dipertahankan;
2.      Pemerintahan RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dipertahankan dengan harta maupun jiwa;
3.      Musuh-musuh Indonesia khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu (Inggris) sangat mungkin ingin menjajah kembali  bangsa Indonesia setelah Jepang ditaklukan ;
4.      Umat muslim khususnya warga NU harus siap bertempur  melawan Belanda dan Sekutu mereka yang berusaha untuk menguasai kembali Indonesia;
5.      Kewjiban Jihad  merupakan keharusan bagi setiap muslim yang tinggal  dalam radius 94 kilometer (sama jaraknya dengan, masafah, di mana menjamak  shalat boleh ditunaikan oleh santri muslim). Mereka  yang berada dalam radius itu mempunyai tanggungjawab untuk mendukung saudara-saudara muslim mereka yang tengah berjuang dalam radius tersebut.






BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pesantren  sebagai  lembaga  pendidikan  menjadi  sangat  potensial  dan  memiliki  arti yang sangat istimewa.  Sementara  kekuatan pesantren terlihat dalam perjuangannya melawan penjajah dengan menggunakan justifikasi religious dan term-term simbolis, seperti “perang suci  untuk mengusir orang kafir”. Keunikannya terletak dalam paduan budaya local dengan substansinya sebagai satu  keseluruhan pandangan hidup Islam. Patut  dicatat  bahwa semakin  keras penindasan yang dilancarkan oleh kaum kolonial, maka akan semkin mengherbat pula perlawan yang dilakukan oleh komunitas pesantren.
Meskipun resistensi komunitas  pesantren terhadap kaum colonial demikian signifikan, tetapi sejauh ini studi khusus  tentang supremasi fatwa, yang dilancarkan oleh bapak komunitas santri pada abad XX, K.H. Hasyim Asy’ari, bulan Oktober 1945  bisa dikatakan sangat langka. Fatwa beliau, yang dikenal luas sebagai “Resolusi Jihad”, memiliki konstribusi besar bagi kedaulatan Republik Indonesia. Karena itu, anggapan lama bahwa sikap diam (quietism) terkait erat dengan teologi para santri Jawa, tidak lagi dapat dipertahankan.
Dengan  landasan  pengamatan  yang serius dan ketat terhadap sosok-sosok individu yang telah membentuk tradisi pesantren dan sejauh ini belum pernah dilakukan, maka karakteristik dan tipologi yang memdai dari beberapa figur unggulan sangat perlu untuk disimpulkan disini:
1.      Ulama encyclopedic dan muliti disiplinier yang mengonsentrasikan diri  dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab, seperti  Syekh Nawawi al-Bantani;
2.      Ahli dengan satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan  Islam. Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, K.H. Mahfiz at-Tirmisi dikenal sebagai seorang ‘allamah, al-muhaddits, serta al-musnid, dan terkadang dipandang sebagai Al-Bukhari (Wafat 870) abad  XIX;
3.      Kiyai  karismatik  yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagamaan , khususnya dari sufismenya, seperti kiyai Kholil Bangkalan. Menarik untuk dicermati suatu kenyataan bahwa  dia bukanlah seoranga guru dari kelompok tarekat manapun di Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren guru spiritual yang paling dihormati tidaklah ditentukan oleh status atau kesuksesannya dalam suatu organisasi tarekat, tetapi lebih pada derajat tertinggi spiritualitasnya kepada Allah sehingga membentuk opini publik yang istimewa di kalangan komunitas ini;
4.      Kiyai dai keliling, yang perhatian dan keterlibatan  mereka terbesar adalah berinteraksi dengan publik  dan menyampaikan ilmunya bersamaan dengan misi Sunnisme atau Aswaja melalui bahasa retorikal yang efektif. Kiyai Asnawi Kudus termasuk dalam kategori ini dan menempati kedudukan istemewa di dalam kehidupan masyarakat Jawa dengan mengokohkan dirinya  sebagai seorang  Pemimpin berpengaruh  dan terkenal  dikalangan santri Jawa;
5.      “Kiyai  Pergerakan, seperti K.H. Hasyim Asy’ari. Diantara ketiga ahli  strategi pesantren, dialah  pemimpin yang paling menonjol karena keunikan posisinya, dengan peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat


maupun organisasi yang didirikannya,serta kedalaman ilmu pengetahuan keagamaan, yang dia peroleh dari para ulama paling disegani dalam komunitas pesantren.

B.     Saran
Pada  artikel ini masih banyak terdapat kekeliruan  guna  sebagai  bahan  inrospeksi dan perbaikan untuk penulisan artikel berikutnya, kami sangat senang bila pembaca yang budiman  melayangkan dan menyampaikan kritik serta saran yang membangun pada artikel ini. Semoga  artikel ini menambah wawasan  keilmuan kita dalam  menyikapi keberagaman keagamaan  yang tumbuh subur di bumi nusantara tercinta ini.
Atas perhatian dan partisipasi semua kalangan yang telah membantu dalam penulisan artikel ini, kami ucapkan banyak  terima kasih  yang sebesar-besarnya.

C.     Daftar Pustaka
Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain Ke Nusantara (Jejak Intelektual Arsistek Pesantren). Kencana  Prenada Media Group, Jakarta,2006.
























[1] Lihat: Hasyim Asy’ari. Qanun Asasi,hlm.45-51
[2] Ma’sum, Menepak Jejak Mengenal Watak,hlm 58
[3] H. Aboebakar Aceh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan karangan Tersiar, hlm.61-62
[4] H. Aboebakar Aceh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan karangan Tersiar, hlm.73
[5] Nahrawi Djunaidi, “Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari.” Tesis, tidak diterbitkan, IAIN Jakarta (Jakarta, 1983), hlm.20
[6] Lihat Dhofier,”Kinship and Marriage Among the Javanese Kiai”, dalam Cornell Modern Indonesia Project, Itacha. April 1980,hlm47-58
[7] Mereka itulah (orang-orang yang ditimpa musibah  dan tabah) yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan  mereka, dari mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs.al-Baqoroh[2]:157)
[8] H. Aboebakar Aceh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan karangan Tersiar, hlm.74
[9] Secara resmi dibuka pada tanggal 26 Rabiul Awal 1889. Pesantren ini tidak diakui oleh Pemerintah Belanda hingga 1906.Lihat:Ibid.,hlm77.
[10] Wawancara dengan Kiai Ahmad Bakri (70 tahun), Senin, 24 Juni 1996, di Kudus, Jawa Tengah. Kiai ini adalah murid langsung dari Hasyim pada tahun 1940-an.
[11] Lihat: Slamet Efendi Yusuf, Dinamika Kaum Pesantren (Jakarta : 1976), hlm.83.
[12] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm.4.
[13] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren, (Sala : Jatayu Sla, 1985), hlm.1.
[14] Hal ini dibenarkan oleh ajaran Islam bahwa: hub al-wathan min al-iman yang berarti mencintai tanah air adalah bagian dari Iman . Ajaran  ini sukar dijumpai dalam berbagai kumpulan Hadis, namun kebanyakan santri Jawa percaya bahwa Hadis tersebut  telah menjadi bagian dari ajaran Islam.
[15] Lihat : anggaran dasar pertama serta peraturan-peraturan NU, yaitu AD-ART, yang disusun pada tahun 1930-an, hlm.1.
[16] K.H. Bisri Mustafa, Risalat Ahlusunah wal-Djamaah, (Kudus : Menara Kudus, 1967), hlm.19.
[17] Panitia  Penyelenggaraan mu’tamar XXVII NU, Buku Petunjuk Mu’tamar NU ke-27 (Situbondo, 1984), hlm.27.
[18] Slametan atau Kenduren adalah suatu ritual yang diadakan oleh masyarakat muslim Jawa dengan mengundang kerabat dan tetangga, guna memanjatkan doa untuk maksud-maksud tertentu.
[19] Tahlilan (dalam bahasa Jawa maupun Arab) adalah suatu amalan dengan mengulang, kalimat la ilaha ill Allah.kaum muslim  yakin  bahwa amalan tersebut akan membersihkan kesalahan-kesalahan seseorang dan meningkatkan kualitas keagamaannya. Dalam tradisi pesantren Tahlilan berfungsi sebagai sebuah perkumpulan social keagamaan, dan lebih khusus lagi sebagai doa yang bermanfaat bagi para pembacanya maupun mereka yang telah meninggal. Pembahasan tentang Tahlilan benar-benar menjadi pertentangan kalangan santri muslim dan kelompok modernis. 

Tidak ada komentar: